Sejuta Rinai Hujan Untuk Pelangi
Aku suka melihat pelangi. Bias ketujuh warnanya yang indah, serta kilaunya yang menakjubkan, mampu membuatku bertahan hanya untuk memandangi keindahannya. Seperti halnya saat ini, di tempat favoritku yaitu bukit kecil dibelakang komplek yang aku tinggali. Aku duduk sendiri menikmati pelangi indah itu, ditemani bau rumput yang khas selepas hujan siang tadi dan sedikit nyanyian dari beberapa burung dan pepohonan yang beradu menggesekkan dahan mereka seolah tahu bahwa aku sedang menikmati pelangi bersama mereka.
Baru beberapa menit berlalu, sentuhan maha dahsyat nan dingin dari angin sore yang berhembus berhasil merasuk sampai ke tulangku. Dan pastinya juga mengganggu ketenanganku bersama pelangi. Sialnya, aku lupa untuk membawa jaket karena terburu – buru pergi untuk melihat pelangi sore ini. Aku terus mengusap – usap kedua tanganku, berharap sedikit saja ada rasa hangat yang berhasil merajuk rasa dingin untuk pergi dari diriku.
“Kedinginan ya? Bawa jaket makanya.“ Aku mengangkat wajahku ke sumber suara tadi. Dan sebuah jaket telah dipakaikan di badanku yang mungil ini. “Fikri.” Aku tersenyum kepadanya lalu membetulkan jaket yang telah dipakaikan oleh Fikri tadi. “Kok kamu kesini?“
“Kan aku mau menemani kamu, tidak boleh nih…“ Orang yang kupanggil “Evil Sir” itu mengacak – acak lembut poniku sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum bersamanya. “Bukan seperti itu, memang kamu sudah sehat?” tanyaku padanya. “Selalu sehat kalau untuk menemani kamu”
Terbiasa mendengar kata – katanya yang seperti itu, bukannya tersipu atau berhasil membuat pipiku sama seperti bunga mawar merah yang bermekaran tapi aku hanya tersenyum menanggapinya. Lalu kami terdiam berdua, sibuk menikmati keindahan pelangi yang pelan – pelan enggan untuk menemani kami dalam kesunyian.
Tiba – tiba ia bersuara, memecah kesunyian ini. “Aku minta maaf ya, kemarin lusa kita tidak jadi ja…“ Belum selesai ia berbicara, aku sudah langsung menoleh kearahnya. Dan meletakkan jari telunjukku tepat di bibir merahnya. “Ih.. Fikri, tidak masalah kok yang penting sekarang kamu ada untuk menemani aku disini untuk lihat pelangi.“
Lagi – lagi ia tersenyum dan mengacak – acak poniku “Giska… Giska… cinta banget ya kamu sama pelangi…”
***
Keesokan pagi, aku menemani Fikri untuk pergi Kemoterapi di salah satu Rumah Sakit ternama di Jakarta. Seperti biasanya aku, Fikri dan Bundanya menemui Dokter Ahli Kanker. Kemoterapi pun dimulai. Aku tak kuat berada didalam ruangan. Aku hanya bisa melihat dari balik kaca, saking tak kuat melihat Fikri menahan rasa sakit yang disebabkan oleh cairan reaksi kimia yang disuntikkan ke tubuhnya. Aku meremas ujung kaosku kuat - kuat sembari memejamkan mata. Disaat seperti ini, rasanya sungguh susah bila harus menahan air mata, bahkan terlalu sulit. Tapi aku tahu, Fikri tidak akan suka jika menemukan aku sedang merelakan bulir – bulir air mataku terbuang sia - sia untuknya.
“Argh…sakit dok.” Aku menggigit bibir bawahku, seketika hatiku terasa miris mendengar erangan Fikri dari dalam. Namun sekuat hati aku menegarkan hatiku. Tergeraklah mata hatiku untuk memberikan instruksi kepada kakiku untuk melangkah masuk menuju ruangan Fikri yang proses Kemoterapinya belum selesai. Aku tidak mau membiarkan Fikri merasakan rasa sakit itu sendiri. Aku selalu ingin menjadi orang pertama yang duduk disampingnya, untuk mentransfer seluruh kekuatanku untuknya.
Setelah kurang lebih satu jam yang menyiksa. Akhirnya aku kembali diizinkan untuk melihat senyum Fikri yang lembut lagi. Aku bersyukur, senyum itu masih kutemukan di hadapan mataku meskipun itu masih lemah. Aku juga tersenyum kearahnya dan menggantikan Perawat untuk menyeka bulir – bulir keringat di pelipisnya.
“Hari ini kamu hebat“ pujiku. Ia hanya terkekeh pelan mendengar pujianku. Aku tahu rasa sakit yang luar biasa itu masih tertinggal didalam tubuhnya.
Wajah Fikri masih terlihat merah, tapi ia masih tetap tampan di mataku. Itu tidak akan pernah berubah. Ia akan tetap selalu menjadi yang paling juara untukku, kemarin, hari ini, esok dan seterusnya. Bahkan mungkin bila nanti raganya sudah tidak dapat kusentuh seperti biasa, ia tetap tidak akan terkalahkan.
“Ergh…“ Fikri menutup mulutnya. Aku tahu, dia pasti mual. Ini adalah reaksi dari cairan kimia yang disuntikkan. Dengan segera, aku sodorkan baskom kecil kearahnya. Dan ia langsung memuntahkan cairan bening dari mulutnya, dengan sabar aku memijat – mijat tengkuknya. Aku tidak akan pernah jijik melakukan ini, aku justru bangga karna bisa membantunya meskipun hanya sedikit. “Makasih ya…“ desahnya pelan.
“Seperti baru pertama kali saja. Aku kan senang melakukan ini untuk kamu“ ujarku jujur. Karena memang seperti itu adanya. Inilah janjiku, janji yang aku ikrarkan dalam hati ketika pertama kali tahu kondisimu. Dan untuk alasan apapun, aku tidak akan pernah mengingkari itu. Aku tidak akan pernah menjadi seseorang yang munafik.
Butuh satu atau dua jam untuk memulihkan keadaan Fikri seperti sedia kala. Dan selama itu juga aku hanya memandanginya yang baru saja terlelap tidur. Dengan ujung telunjukku, perlahan aku menyentuh pipinya.
Membuat kelopak matanya yang terpejam sedikit bergerak. Setidaknya dari situ, aku mengetahui bahwa masih ada jiwa ditubuhnya. Sejujurnya, aku selalu takut ketika melihat ia tidur. Takut jika ia tidak akan pernah bangun dan tersenyum lagi padaku. Takut waktunya berhenti tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Takut masanya akan berakhir dan aku tidak bisa menemuinya kembali. Takut jika aku tidak akan bisa menatap mata teduhnya lagi. Oke, aku akui ini memang egois. Tapi inilah keadaannya, ini adalah tindakan yang sangat aku inginkan dari dirinya.
Aku mengenalnya lebih dari separuh usiaku. Ia menjadi teman baruku ketika kami berusia 6 tahun. Dan sejak saling berkenalan itulah, aku jadi sering bermain dengannya. Ia tidak pernah keberatan untuk menemaniku bermain masak – masakan atau rumah – rumahan dan aku juga selalu suka bila ia memintaku untuk bermain bola dengannya. Pertemananku tidak akan pernah berakhir.
Akulah orang pertama yang ia peluk saat pengumuman kelulusan pada kelas 6 SD. Akulah orang pertama yang selalu mendapat potongan kue pertama ulang tahunnya ketika ia berusia 10 tahun sampai sekarang. Akulah orang pertama yang ia ajak saat ia mendapatkan motor baru saat ia duduk di kelas 1 SMP. Akulah orang pertama yang ia ajak berfoto saat ia menerima penghargaan disalah satu lomba. Akulah perempuan kedua setelah ibunya yang mengatakan bahwa dia adalah deruan nafasku. Akulah cinta pertama dan terakhirnya walaupun di bukanlah cinta pertama dan terakhirku.
Dan dia adalah orang pertama yang aku cari saat rasa takut menyerangku. Dialah orang pertama yang dapat merelakan bahunya basah karena aku. Dialah orang yang berhasil membuatku mengerti akan arti sepercik cinta dan kasih sayang. Dan dialah orang pertama yang membuat aku ingin menjadi lebih baik untuk seseorang, dan seseorang itu tidak lain adalah dia.
Dan hingga saat ini pun, hubungan kita masih berteman, tetap sahabat. Itu tidak akan pernah berubah. Meski sekarang aku dan dia berusia 14 tahun. Meski saat ini aku sudah tidak suka bermain masak – masakan atau boneka. Kami tetap teman, meski dibelakang kata teman itu telah ada kata spesial yang mengikutinya.
Aku masih teringat dengan jelas, saat aku menangis berjam – jam. Ketika Fikri memberitahuku bahwa ia mengidap Kanker Jaringan lunak dengan stadium yang sudah parah. Saat jari – jarinya merengkuhku didalam pelukan hangatnya dan menenangkan tangisku yang tidak kunjung berhenti. Seolah vonis mati muda itu jatuhnya kepadaku bukan kepadanya. Saat aku akhirnya tertidur karena lelah menangis, dan ia hanya menemaniku dalam diam. Dan untuk semua alasan itulah, aku melakukan ini untuknya.
Aku selalu ingin menemaninya. Selama yang aku bisa, selama desah nafasnya masih tersisa, selama jiwa masih terletak di raganya, selama raganya masih bisa aku peluk. Semenjak itu, aku selalu berpikir akankah kembali ada sebuah cerita kehidupan yang manis antara kita yang akan terjadi lagi setelah dia sudah tiada?
Entah sudah berapa kali, aku dan Fikri membahas tentang kepergiannya. Bagaimana ia berusaha meyakinkanku bahwa tidak perlu ada air mata yang tumpah selama bermalam – malam untuknya. Bagaimana ia berusaha menekankan padaku bahwa mungkin kematian itu memang jalan terbaik untuknya. Dan bagaimana ia berusaha mengajariku bahwa mencintai tidak perlu harus membuat aku akan tersiksa karena kepergiannya dan ia berat karena harus meninggalkanku.
Satu tahun berlalu dan pikiran negatifku telah berangsur – angsur lenyap. Tidak pernah ada waktu saat kami menangis berdua atau terpuruk berdua bila mengingat tentang penyakitnya. Layaknya film sedih yang aku tonton. Kami selalu menari di bawah lagu – lagu yang riang, bukannya diiringi musik – musik mellow yang menyayat hati. Dan kami selalu tertawa berdua melewati semuanya sesedih apapun itu, karena kami percaya bawa Tuhan punya rencana yang indah dibalik ini semua.
Meski begitu, aku tidak bisa berbohong bahwa aku tetaplah seorang perempuan dengan segudang perasaan yang kadang menimbulkan pikiran yang terlalu paranoid.
Ada titik dimana aku menjadi labil dan merasa takut akan apa yang terjadi didepan kami. Dan saat itu, Fikri akan membiarkan aku menangis. Tapi ia menunjukkan padaku, bahwa ia sendiri belum pernah menyerah untuk merubah takdirnya, untuk ingin lebih lama menikmati dunia. Ia memang orang yang penuh semangat yang selalu aku kagumi.
“Giska..“
Mendengar suara ini lamunanku buyar. Aku segera menoleh kearahnya sambil tersenyum.
“Aku mau jalan – jalan, temani aku ya!“ lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk, menyiapkan kursi roda lalu membantunya untuk duduk dan turun dari kasurnya. Hatiku kembali miris ketika melihat rambutnya yang tebal, rontok menyelimuti bantal. Tanpa sadar aku terus – terusan melihat itu.
Dan akhirnya dengan perlahan aku mulai mendorong kursi rodanya. Aku dan Fikri sama – sama menebar senyum kepada setiap dokter, suster atau pasien yang kami temui sepanjang koridor Rumah Sakit. Satu tahun dengan intensitas dua kali seminggu membuat kami layaknya telah menjadi keluarga besar Rumah Sakit ini. Aku terus mendorong kursi rodanya, meski tidak saling memberitahu satu sama lain karena kami tahu kemana tujuan kami.
Didepan taman kecil, tepat disamping kantin Rumah Sakit. Aku berhenti dan duduk dibangku taman. “Setiap kita kesini, pasti selalu ada bunga yang layu dan bunga yang mekar ya..“ ujar Fikri. Aku memperhatikan bunga – bunga yang Fikri maksud dan itu benar. Rasanya baru beberapa hari yang lalu, aku melihat bunga kecil berwarna ungu di sudut taman mekar dengan indahnya dan kini ia layu, keindahannya digantikan oleh bunga berwarna kuning di sudut lain yang beberapa hari lalu masih belum mau untuk merekahkan kelopaknya.
“Aku tidak pernah perhatikan itu sebelumnya, baru sadar waktu kamu bilang“ ujarku. “Itu sama saja seperti waktu manusia. Di rumah sakit ini, hampir setiap jamnya, ada yang meninggal dan ada yang dilahirkan. Berarti Tuhan adil kan…“ Dengan ucapannya yang seperti ini aku tahu kemana ia akan membawa percakapan ini.
“Kalau seorang anak lahir pasti banyak orang bersyukur ke Tuhan, tapi ketika seseorang telah dipanggil padanya ada saja orang yang “menggugat” Tuhan“ sahutku sembari mengacungkan jari telunjuk dan tengah di kedua tanganku dan menekukannya berbarengan, mengekspresikan tanda kutif pada kata menggugat.
“Kamu benar Gis, dan aku tidak suka sifat seperti itu. Aku tidak mau kamu, atau siapapun nanti akan menyalahkan Tuhan kalau aku sudah tiada. Walaupun aku tidak suka takdir yang Tuhan beri untuk aku, setidaknya Tuhan sudah membalas itu dengan mengirimkanku orang – orang yang terbaik dihidupku sekarang.“ Inilah yang membuat aku suka dan selalu aku idolai dari Fikri. Cara dia menerima dan menjalankan hidupnya tanpa kata menyerah, selalu optimis tapi ia tetap tahu sejauh apa ia menggantungkan harapannya.
“ Ya.. aku tahu Fikri..” ujarku.
“Aku bangga sama kamu. Belum tentu wanita lain bisa berpikir seperti kamu, kamu hebat Giska…“ Aku hanya tersenyum ketika mendengar pujian darinya itu.
***
Dua hari kemudian, rasanya hatiku tidak mau kalah untuk menangis. Ketakutan yang telah mengintaiku sejak lama itu akhirnya datang juga, perlahan mengendap dibelakangku dan mengagetkanku dengan tiba – tiba. Fikri pingsan sejak kemarin sore dan hingga hari ini ia belum juga sadarkan diri. Meski aku berusaha untuk mengingat segala perbincangan kami tentang bila ini terjadi, ternyata tidak semudah itu melaluinya. Ternyata tetap air mataku berproduksi secara otomatis dan membuat sungai di kedua belahan pipiku.
Aku menggenggam kedua tangannya. Kata Dokter, kondisinya terus melemah. Orang tua Fikri juga sudah pasrah dengan semua kemungkinan, dan akupun begitu. Hanya saja, aku tidak sedikit rela bila ia pergi tanpa memberiku kesempatan untuk menatap hangat kedua bola matanya yang teduh sejenak. Meskipun itu hanya sedetik, tapi aku ingin.
Hujan yang turun sejak tadi pagi lama – lama mulai lenyap. Meninggalkan rintiknya yang tinggal satu persatu. Dan pasti tak lama lagi ada sebuah pelangi. Tidak tahu ini terlalu berlebihan atau tidak, aku ingin melihat si tujuh warna ini dengan dirinya seperti biasa, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Tiba – tiba tangan dingin yang aku genggam ini mulai memberikan respon positif. Tangannya bergerak pertanda dia tahu bahwa diriku ada disampingnya. Apa aku bermimpi?
“ Fikri…Fikri…sadarlah!! “ panggilku.
Sungguh tidak dapat terpercaya, kelopak matanya mulai memancarkan sinar pertanda kebaikan, senyumnya yang tipis terpoles di bibirnya yang kali ini berwarna putih. Aku menekan bel beberapa kali dan dokter langsung datang untuk memeriksanya. Aku menunggu diluar ruangan. Sesekali aku mengintip dari celah kaca pintu, aku ingin tau bagaimana keadaannya.
Aku masih berdiri didepan pintu, ketika dokter keluar “Bagaimana keadaan Fikri, dok?“
“Keadaannya membaik, kondisinya tiba – tiba stabil dan semoga tidak kembali turun. Dia bilang, dia meminta kamu untuk menemaninya jalan – jalan…”
“Apa boleh dok?“
“Sebentar saja ya Giska, paksa dia untuk kembali kekamar bila sudah setengah jam.” Aku mengangguk dengan senyum sumringah. Dan langsung saja aku masuk untuk menemui Fikri. Seperti biasanya aku mulai mendorong kursi rodanya. “Mau jalan kemana?“ tanyaku yang tidak seperti biasa.
“Mau menemani kamu lihat pelangi.. Tadi habis hujan kan?“ Aku sedikit terkejut. Pertama, darimana Fikri tahu kalau tadi hujan?. Dan kedua, ia masih saja memikirkan kesenanganku di saat – saat seperti ini.
Di taman yang memang selalu kami datangi, aku memberhentikan kursi rodanya. Dan aku duduk disampingnya, masih seperti biasa. Hanya saja untuk kali ini, aku masih mengingat keadaannya. Jadi, aku memilih untuk tidak berhenti di tengah – tengah taman melainkan berhenti di teras rumah sakit. Lagipula dari sini juga terlihat pelangi.
“Giska, aku boleh minta sesuatu sama kamu?”
“Apa?“
“Aku juga mau duduk disitu, tepat disamping kamu. Bukan dikursi berbeda seperti ini.“ Aku mengerutkan keningku, tumben ia mempermasalahkan hal sekecil ini. Tapi aku menurutinya, dengan hati – hati aku membantunya untuk berdiri dan duduk dikursi dimana aku duduk tadi. Setelah itu dengan tangannya, ia membuat aku bersandar ditubuhnya.
Dengan posisi seperti ini, aku bisa merasakan tubuhnya yang mulai menyusut dan hanya meninggalkan tulang – tulang yang menonjol juga cekung matanya yang terlihat lebih dalam. Penyakit ini memang telah membunuhnya perlahan.
“Pelanginya sudah muncul…” tunjuknya.
“Selalu bagus seperti biasanya ya…“ timpalku.
“Setelah aku pikir – pikir, pelangi itu memang indah seperti yang kamu bilang tapi keindahannya hanya untuk sesaat, tidak akan pernah abadi tidak sejati.“
“Betul sih apa yang kamu bilang, tapi aku akan selalu tetap suka sama pelangi…“
“Tapi aku tidak mau jadi pelangi untukmu loh.“
“Kenapa?“ tanyaku dengan nada sedikit sedih.
“Aku tidak mau hanya menjadi yang sesaat untukmu. Aku lebih suka menjadi sejuta rinai hujan untukmu.”
“Sejuta rinai hujan?“ tanyaku dengan bingungnya. “Iya, sejuta rintik hujan yang turun ke bumi. Karena tanpanya, pelangi tidak akan pernah muncul. Aku tidak akan memaksa kamu untuk lebih menyukai hujan ketimbang pelangi. Aku hujan dan kamu pelangi. Saat kamu menginginkan keindahan itu, mau tidak mau kamu harus menginginkan aku. Dan itu artinya, akulah orang yang akan selalu mengantarkan kebahagiaan pelangi untukmu, dimanapun kamu berada…“
Aku tertegun sejenak. Ada yang mengganjal dalam hatiku, meski takut tapi aku merasa ini layaknya sebuah kalimat perpisahan. Aku tidak membalas kata – katanya, Fikri juga terdiam. Aku lebih memilih untuk terus menyenderkan kepalaku di badannya.
Kesunyian ini meliputi kami. Untuk kali ini, aku mengacuhkan pelangi. Aku lebih menikmati saat – saat degup jantung Fikri masih terasa jelas di telingaku. Entahlah, tapi ada suara yang menggema dengan sendirinya layaknya mengantarkan sebuah rahasia kecil bahwa saat yang paling menyakitkan itu mungkin akan datang dengan segera dan aku harus memperkokoh dinding – dinding ketegaranku segera.
“Aku punya satu impian kecil.“ ujarnya.
“Apa?“
“Meninggalkan kamu saat seperti ini. Saat kamu bersandar ke aku, saat aku melihat senyummu karena pelangi, saat aku yakin kamu telah benar – benar paham bahwa air mata tidak diciptakan untuk perpisahan yang begitu damai“ lagi – lagi aku tidak menjawabnya.
Aku terus memilih untuk menikmati detik – detik ini. Menikmati untuk menghirup aroma tubuhnya yang khas, menikmati dekapan hangatnya yang terasa aman, menikmati pancaran teduh nan sayangnya tanpa perlu ada kata sayang yang terlontar.
Sekilas aku melirik ke arah pelangi. Dan aku baru sadar, ia sudah hilang. Entah kapan pelangi ini lenyap. Dan rintik hujan kembali turun perlahan.
“Fikri kita ke kamar ya …“
“Sebentar lagi Gis, aku mau menikmati bau rumput yang khas sehabis hujan ini“ aku menurutinya. Aku kembali menyandarkan kepalaku di dadanya. Dan saat itu datang, tidak dengan tiba – tiba tapi cukup teratur. Degup jantung Fikri masih terasa satu persatu begitupun dengan nafasnya. Tapi entahlah seolah permintaan Fikri tadi adalah permintaan terakhirnya yang harus aku turuti. Dua puluh detik kemudian, semua terasa berhenti. Aku tahu, ia telah pergi dan aku tidak bisa melawan takdirnya. Tidak bisa lagi menemukannya disamping rumahku dan di sekolahku. Ia telah benar – benar pergi.
Dan hujan mulai menderas, tapi tidak dengan air mataku. Aku malah hanya memeluknya erat, karena aku tahu ini yang terakhir meski tubuhnya sudah tidak berjiwa lagi. Ia telah berubah menjadi hujan, sama seperti yang ia bilang tadi. Ia adalah sejuta rinai hujan dan itu artinya ia sedang mengawasiku saat ini. Aku tidak boleh menangis, aku tidak mau membuatnya kecewa.
Sebentar lagi bahkan raganya tidak dapat kusentuh seperti ini. Jadi, tolong izinkan aku untuk menikmati ini sejenak. Tapi tidak, aku tidak boleh egois. Aku telah belajar ikhlas dari jauh – jauh hari. Aku telah melepasnya dengan senyuman dan sekali lagi, aku bangga dengannya. Bangga dengan semangatnya untuk hidup.
Ternyata hujan kali ini tidak begitu lebat. Mungkin ia belum terbiasa menjadi hujan, tenang saja aku maklumi Fikri. Selamat tinggal Fikri!! Oh iya, aku juga mengerti bila kali ini kamu belum bisa membawakan pelangi. Tapi aku akan tunggu itu di waktu hujan yang lain.
“Bau rumputnya sudah tercium kan? sekarang kita kembali ke kamar ya!!! Selamat jalan. Aku akan mengikhlaskanmu dan melepasmu dengan senyuman. Meski ini terlalu membuat hatiku sedih. Aku yakin disana kamu akan bahagia. Karena akan banyak malaikat – malaikat yang bersedia untuk menaungimu dengan sayap – sayap lembutnya.” J
Sumber: http://www.giskasimple.blogspot.com/2013/01/sejuta-rinai-hujan-untuk-pelangi.html
Posting Komentar
Silahkan berkomentar menggunakan kata-kata yang sopan :)